Senin, 23 November 2009

Multilevel Marketing

Oleh Drs. Hafidz Abdurrahman, MA.*)

        Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.
       Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya,
       Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) – ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor -; kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.
       Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) – sebagaimana istilah mereka – yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.

Fakta Umum Multilevel Marketing
         Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing – sebagai bisnis pemasaran --- tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan – istilah lainnya komisi kepemimpinan -. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak ,seperti Gold Quest. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, - istilah lainnya sponsor, promotor – namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran).
       Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi : (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara – melalui perekrutan yang telah dia lakukan – bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.
       Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.

Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar

       Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligua:
1.  Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatain fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran).
2.  Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.

        Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis SAW, antara lain, sebagai berikut:
1.    Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an Nasa’i dan at Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan :
      نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Nabi SAW, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian”.1

Dalam hal ini, as Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:


Jika seseorang mengatakan : Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.2
         Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu aqad.

2.    Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan :

          نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

Rasululllah SAW telah melarang dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).3

Hadits yang senada dikemukan oleh at Thabrani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:

                لا تحل صفقتان في صفقة

Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).4

Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah SAW, dengan tegas melarang praktek dua akad (kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan).

3.    Hadits Ibn Majah, al Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:
             لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ

Tidak dihalalkan  salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.5

Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi – penganut mazhab Hanafi – bisa digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits tersebut.6

         Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan lafadz: naha (melarang), maupun laa tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti: la tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya.
       Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai :

Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.7

Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan), ijab (penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan : Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan : Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’.
       Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara; zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya batil.
        Adapun praktek pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits  Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:

Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah SAW. Keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: Wahai para tujjar (bentuk plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah.8

Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah SAW sebagaimana yang dijelaskan oleh as Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:

Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.9

       Ulama penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:

Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu – dengan difathah dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau dululat(an) – jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.10

       Dari batasan-batasn tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (maalik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah  tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al mutawwith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.

Hukum Dua Akad dan Makelar dalam Praktek MLM

      Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1.    Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member – apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain – disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelar termasuk dalam kategori hadits : shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.
2.    Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk – meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian – dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran).
3.    Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.

          Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelarah terhadap pemakelaran). Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya haram.

Kesimpulan

       Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya – apakah halal ataukah  haram – maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.
        Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.
     Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram.
      Namun, jika ada MLM yang pdouknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran). Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?!

*****


--------------------------------------------------- 
*) Drs. Hafidz Abdurrahman MA , menyelesaikan S-1 di IKIP Malang jurusan bahasa Asing-Arab, menyelesaikan S-2 di University of Malaya, Malaysia, program studi Islamic Studies.

Catatan kaki :
1.    Lihat, as-Syawkani, Nayl al-Awthar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, Juz V, hal 248.
2.    Lihat, as-Syawkani, Nayl al-Awthar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, Juz V, hal 249.
3.    Lihat, al-Haytsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, Dar al-Kitab Al-Arabi, Beiurut, 1973, Juz IV, hal 84.
4.    Lihat, al-Haytsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, Dar al-Kitab Al-Arabi, Beiurut, 1973, Juz IV, hal 84.
5.    Lihat, al-Asqalani, Talhish al-Habir, ed. Abdullah Hasyim al Yamani, t.p., Madinah, 1964, Juz III, hal. 12.
6.    As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, Juz XX, hal 166.
7.    Ibn al-Abidin, Hasyiyah Ibn Abidin, Juz II, h. 355, Wahbah az Syhayli, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz IV, hal 2918.
8.    As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, juz XV, hal 115.
9.    As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, juz XV, hal 116.
10. Muhammad bin Abi al-Fath, al-Muthalli’, ed. Muhammad Basyir al-Adlabi, al-Maktab al-Islami, Beirut, 1981, hal. 279.


Rabu, 04 November 2009

SISTEM EKONOMI ISLAM: Keniscayaan Menuju Kesejahteraan Manusia

hayatulislam.net – Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Qs. Al-Maa’idah: 3).

Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Qs. An-Nahl: 89).

Pendahuluan


Sosialisme sebagai ideologi dunia boleh dikatakan telah runtuh walau masih ada negara yang menganutnya, yaitu sejak keruntuhan komunis/ sosialis Sovyet pada awal tahun 1990-an. Dengan demikian, saat ini ideologi yang mendominasi dunia adalah ideologi Kapitalisme yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Apakah itu menandakan, bahwasannya Kapitalisme sebagai ideologi keluar sebagai pemenang dan akan bertahan lama? Orang banyak menganggap demikian, tetapi sebenarnya Kapitalisme-pun sebagai sebuah ideologi akan mengalami kehancuran seperti apa yang diramalkan oleh Marx. Karena bentuk dan pertumbuhan kapitalisme historis seperti yang diramalkannya, misalnya terjadinya konsentrasi dan sentralisasi kekuatan kapital dan terciptanya kemiskinan yang cukup luas pada saat ini telah terjadi.

Memang secara global, sistem ekonomi yang lahir dari ideologi Kapitalis ini berangkat dari asumsi bahwa tujuan seluruh aktivitas ekonomi adalah (semata-mata) untuk mengejar puncak kenikmatan yang bersifat materi, suatu pemikiran yang lahir dari motivasi manusia yang terendah (gharizah baqa=naluri mempertahankan diri). Berikutnya, kita dapati realitas masyarakat yang mengadopsi pemikiran ini, akan senantiasa berusaha meraih nilai materi yang sebesar-besarnya, -bahkan bila perlu- dengan menghalalkan segala macam cara. Selanjutnya, terbentuklah sekelompok kecil kaum kapitalis yang mendominasi sejumlah besar orang yang telah bekerja keras dan senantiasa hidup dalam kegelisahan, yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan dan tak mampu memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) mereka Sedangkan dalam menghadapi problematika yang ada, ekonomi Kapitalis tidak bisa menjawab

krisis yang terjadi di dunia. Misalnya dalam menghadapi krisis yang terjadi sejak pertengan tahun 1997 sistem Kapitalisme gagal dalam memulihkan kembali ekonomi bagi negara-negara yang terkena krisis ekonomi. Hal itu dapat dilihat, bagaimana badan internasional, seperti IMF, World Bank, WTO, yang menangani negara-negara yang kena krisis, belum menunjukkan pulihnya ekonomi negara yang ditangani oleh badan dunia tersebut. Sebaliknya, hasil riset Johnson dan Schaefer (1997) menunjukkan selama 1965-1995, perekonomian 48 dari 89 negara yang menerima bantuan IMF tidak menjadi lebih maju. Bahkan, 32 dari 48 negara tersebut justru menjadi lebih miskin. Lebih menyedihkan lagi, negara-negara tersebut telah menjadi pasien IMF selama puluhan tahun. (Sunarsip, “Seputar Konspirasi IMF”, Republika 20 Juni 2001).

Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa depresi besar (great depression) pada tahun 1929 yang akhirnya memunculkan aliran Keynes yang menggantikan aliran Klasik (Adam Smith, dkk). Dan sekarangpun aliran Keynes tidak bisa menjawab krisis ekonomi yang terjadi, sehingga banyak orang mulai mencari pengganti dari sistem Kapitalisme. Dan ini sebuah indikasi, bahwasannya sistem Kapitalisme akan runtuh jika ada alternatif terpercaya yang siap menggantinya.

Sebenarnya, jauh-jauh sebelum ideologi Kapitalisme dan Sosialisme yang muncul akibat sekularisme (pemisahan antara kehidupan dan agama), Islam telah menawarkan dan merealisasikan konsep sistem pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat, cara pemenuhan kebutuhan pokok bagi warga masyarakat, cara penanganan kemiskinan, perwujudan kesejahteraan hidup, dan lain sebagainya. Islam tidak berangkat dari keprihatinan sosial, yang bersifat nisbi dan kondisional atau berpijak di atas dasar nilai-nilai sosial dan kemanusiaan semata.

Pada artikel ini, akan diberikan gambaran tentang ekonomi Islam sebagai sebuah aturan (nizam) yang dapat memecahkan problematika kehidupan manusia, yang bertitik tolak dari pandangan dasar tentang manusia dan kehidupan ini (aqidah). Islam memandang bahwa manusia memiliki keterikatan dengan hokum dan tata aturan dari Pencipta Alam Semesta ini.

Sistem Ekonmi Islam


Menurut An Nabhani dalam bukunya An-Nizam Al-Iqtishadi Fi Al-Islami, system ekonomi Islam ditegakkan di atas tiga asas utama, pertama, konsep kepemilikan (al-milkiyah); Kedua, pemanfaatan kepemilikan (al tasharuf fil al-milkiyah); Ketiga, distribusi kekayaan di antara masyarakat (tauzi'u altsarwah bayna al-naas).



I. Konsep Kepemilikan (al-Milkiyah)
Islam memiliki pandangan yang khas tentang harta. Bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Allah (Qs. 24: 33). Harta yang dimiliki manusia, sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah (Qs. 57: 7). Kata rizq artinya pemberian (a'tha). Atas dasar ini, kepemilikan atas suatu barang –yang artinya ada proses perpindahan kepemilikan- harus selalu didasarkan pada aturan-aturan Allah SWT. Seseorang tatkala hendak memiliki sepeda motor, maka cara untuk mendapatkan ‘kepemilikan’ sepeda motor, maka cara untuk mendapatkan ‘kepemilikan’ sepeda motor tersebut harus didasarkan pada aturan-aturan Allah SWT, misalnya, dengan membeli, atau diberi hadiah, atau dengan cara-cara lain yang dibenarkan oleh hukum Islam. Pandangan di atas berbeda dengan paham kapitalisme, yang menganggap “harta milik adalah pencurian” yang muncul dari pernyataan klasik Proudhon. Artinya negara-negara maju memperoleh kekayaan yang mereka nikmati dari tindakan mereka merampas dan menguras harta negara-negara lain dan kecenderungan ini merupakan faktor pendorong kapitalisme (Berger, Peter L., “Piramida Pengorbanan Manusia: satu jawaban diantara sosialisme dan kapitalisme”, IQRA Bandung, 1983). Pandangan ini menghasilkan sebuah aksioma “harta adalah milik manusia”, maka manusia bebas untuk mengupayakannya, bebas mendapatakan dengan cara apapun, dan bebas pula memanfaatkannya. Dari pandangan ini muncul pula falsafah hurriyatu al-tamalluk (kebebasan kepemilikan), yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan memanfaatkan harta, dengan cara apapun, meskipun cara tersebut bertentangan dengan norma dan etika masyarakat, atau bahkan dengan aturan Islam.

Islam juga berbeda dengan sosialisme, yang tidak mengakui kepemilikan individu. Mereka berpendapat bahwa harta adalah milik negara. Seseorang hanya diberi barang dan jasa terbatas yang diperlukan dan dia bekerja sebatas yang dia bisa. Pada hakikatnya, Sosialisme telah mematikan 'kreativitas manusia'. Motif-motif internal yang bersifat individual telah dikebiri. Prinsip ini, semula diyakini, dapat menghancurkan dominasi ekonomi oleh satu atau beberapa kelompok manusia, namun akibat yang ditimbulkan justru lebih mengerikan. Karena kepemilikan individu tidak diakui, maka motif-motif pencapaian ekonomi yang bersifat pribadi menjadi lemah, bahkan tidak nampak sekali. Tidak ada gairah kerja lagi pada individu-individu sosialis. Akhirnya, timbullah penurunan drastic produktivitas masyarakat, karena masyarakat telah kehilangan hasrat untuk memperoleh keuntungan (profit motives), suatu hal yang sangat manusiawi. Tidaklah aneh bila produksi pertanian kolektif RRC, tidak mungkin melebihi tingkat produksi individual rakyat negara Kapitalis.

Jadi Islam memiliki berbeda dengan Kapitalisme, yang tidak mengatur kuantitas (jumlah) dan cara perolehan harta serta pemanfaatannya. Begitu pula, Islam berbeda dengan Sosialisme yang menjadikan negara mengatur kepemilikan harta. Dalam hal kepemilikan terhadap harta, Islam tidak mengenal kebebasan kepemilikan, sebagaimana sistem Kapitalisme, dan pembatasan mutlak, sebagaimana sistem Sosialisme. Islam hanya mengatur cara memiliki barang dan jasa serta cara pemanfaatan pemilikan tersebut. Kepemilikan adalah izin dari Syaari’ (Allah SWT) untuk menguasa dzat dan mnafaat suatu benda. Menurut Dr. Husain Abdullah, kepemilikan (milkiyah) dibagi menjadi tiga macam, yakni: (1) kepemilikan individu (milkiyah fardiyah), (2) kepemilikan umum (milkiyah ‘amah) dan (3) kepemilikan negara (milkiyah daulah).

I.I. Kepemilikan Individu (al-Milkiyah ‘Fardiyah)
Kepemilikan individu adalah izin Syaari’ (Allah SWT) kepada individu untuk memanfaatkan barang dan jasa. Adapun sebab-sebab pemilikan (asbabu al-tammaluk) individu, secara umum ada lima macam: 1) Bekerja (al 'amal), 2) Warisan (al-irts), 3) Kebutuhan harta untuk mempertahankan hidup, 4) Pemberian negara (i'thau al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal, dan 5) Harta yang diperoleh individu tanpa harus bekerja.

Harta dapat diperoleh melalui bekerja, mencakup upaya menghidupkan tanah mati (ihyau al-mawat), mencari bahan tambang, berburu, perantara (samsara), kerjasama mudharabah, bekerja sebagai pegawai. Sedang harta yang diperoleh tanpa adanya curahan daya dan upaya mencakup, hibah, hadiah, wasiat, diyat, mahar, barang temuan, santunan.

Islam melarang seorang muslim memperoleh barang dan jasa dengan cara yang tidak diridhai Allah SWT, seperti judi, riba, pelacuran dan perbuatan maksiyat lain. Islam juga melarang seorang muslim untuk mendapatkan harta melalui cara korupsi, mencuri, menipu. Sebab hal ini pasti merugikan orang lain dan menimbulkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat.

I.II. Kepemilikan Umum (al-Milkiyah ‘Amah)
Pemilikan umum adalah izin dari Syaari' (Allah SWT) kepada masyarakat secara bersama untuk memanfaatkan benda. Benda-benda ini tampak pada tiga macam, yaitu:

1. Fasilitas umum, yaitu barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-haru seperti air, api (bahan bakar, listrik, gas), padang rumput (hutan).

2. Barang-barang yang tabiat kepemilikannya menghalangi adanya penguasaan individu seperti; sungai, danau, jalan, lautan, udara, masjid dan sebagainya.

3. Barang tambang dalam jumlah besar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.


Ketiga macam benda di atas telah ditetapkan oleh syara' sebagai kepemilikan umum, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
“Manusia berserikat (punya anadil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah)

Pengelolaan terhadap kepemilikan umum pada prinsipnya dilakukan oleh negara, sedangkan dari sisi pemanfaatannya dinikmati oleh masyarakat umum. Masyarakat umum bisa secara langsung memanfaatkan sekaligus mengelola barang-barang 'umum' tadi, jika barang-barang tersebut bisa diperoleh dengan mudah tanpa harus mengeluarkan dana yang besar seperti, pemanfaatan air disungai atau sumur, mengembalikan ternak di padang penggembalaan dan sebagainya. Sedangkan jika pemanfaatannya membutuhkan eksplorasi dan eksploitasi yang sulit, pengelolaan milik umum ini dilakukan hanya oleh negara untuk seluruh rakyat dengan cara diberikan cuma-cuma atau dengan harga murah. Dengan cara ini rakyat dapat memperoleh beberapa kebutuhan pokoknya dengan murah.

Hubungan negara dengan kepemilikan umum sebatas mengelola, dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat umum. Negara tidak boleh menjual aset-aset milik umum. Sebab, prinsip dasar dari pemanfaatan adalah kepemilikan. Seorang individu tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang dan jasa yang bukan menjadi miliknya. Demikian pula negara, tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang yang bukan menjadi miliknya. Laut adalah milik umum, bukan milik negara. Pabrik-pabrik umum, tambang, dan lain-lain adalah milik umum, bukan milik negara. Atas dasar ini, negara tidak boleh menjual asset yang bukan menjadi miliknya kepada individu-individu masyarakat.

Timbulnya dominasi ekonomi, serta terakumulasinya kekayaan pada sejumlah individu, lebih banyak disebabkan karena kelompok-kelompok tersebut telah menguasai aset-aset umum, atau sektor-sektor yang menjadi hajat hidup masyarakat banyak; karena ada kebijakan dari Pemerintah. Misalnya; privatisasi BUMN atas sektor publik.

I.III. Kepemilikan Negara (al-Milkiyah Daulah)
Kepemilikan negara adalah izin dari Syaari' atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan negara. Misalnya harta ghanimah, fa'i, khumus, kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah milik negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara seperti menggaji pegawai, keperluan jihad dan sebagainya.

II. Pemanfaatan Kepemilikan (al-Tasharuf al-Milkiyah)
Kejelasan konsep kepemilikan sangat berpengaruh terhadap konsep pemanfaatan harta milik (tasharuf al-mal), yakni siapa sesungguhnya yang berhak mengelola dan memanfaatkan harta tersebut Pemanfaatan pemilikan adalah cara -sesuai hukum syara’- seorang muslim memperlakukan harta miliknya. Pemanfaatan harta dibagi menjadi dua topik yang sangat penting, yakni: (1) Pengembangan harta (tanmiyatu al-mal), dan (2) infaq harta (infaqu al-mal).

II.I. Pengembangan Harta (Tanmiyatu al-Mal)
Pengembangan harta adalah upaya-upaya yang berhubungan dengan cara dan sarana yang dapat menumbuhkan pertambahan harta.

Islam hanya mendorong pengembangan harta sebatas pada sektor riil saja; yakni sektor pertanian, industri dan perdagangan. Islam tidak mengatur secara teknis tentang budidaya tanaman; atau tentang teknik rekayasa industri; namun Islam hanya mengatur pada aspek hukum tentang pengembangan harta. Dalam sektor pertanian misalnya, Islam hanya mengatur pada aspek hukum tentang pengembangan harta. Dalam sektor pertanian misalnya, Islam melarang seorang muslim menelantarkan tanahnya lebih dari tiga tahun, bolehnya seseorang memiliki tanah terlantar tersebut bila ia mengolahnya, larangan menyewakan tanah, musaqah, dan lain-lain. Dalam perdagangan, Islam telah mengatur hukum-hukum tentang syirkah dan jual beli. Demikian pula dalam hal perindustrian, Islam juga mengatur hukum produksi barang, manajemen dan jasa, semisal hukum perjanjian dan pengupahan.

Islam melarang beberapa aktivitas-aktivitas pengembangan harta, misalnya, riba nashi'ah pada perbankan, dan riba fadhal pada pasar modal. Menimbun, monopoli, judi, penipuan dalam jual beli, jual beli barang haram dan sebagainya.

II.II. Infaq Harta (Infaqu al-Mal)
Infaq harta adalah pemanfaatan harta dengan atau tanpa ada kompensasi atau perolehan balik. Berbeda dengan sistem Kapitalisme, Islam mendorong ummatnya untuk menginfaqkan hartanya untuk kepentingan umat yang lain -terutama pihak yang sangat membutuhkan. Islam tidak hanya mendorong kaum muslim untuk memanfaatkan hartanya dengan kompensasi atau perolehan balik yang bersifat materi saja, akan tetapi juga mendorong ummatnya untuk memperhatikan dan menolong pihak-pihak yang memperhatikan dan menolong pihak-pihak yang membutuhkan, serta untuk kepentingan ibadah, misalnya zakat, nafkah anak dan istri, dorongan untuk memberi hadiah, hibah, sedekah pada fakir miskin dan orang yang memerlukan (terlibat hutang, keperluan pengobatan dan musibah); infaq untuk jihad fii sabilillah.

Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan hartanya pada hal-hal yang dilarang oleh hukum syara', seperti riswah (sogok), israf, tadbir, dan taraf (membeli barang atau jasa haram), serta mencela keras sikap bakhil. Pelarangan pemanfaatan harta pada jalan-jalan tersebut akan menutup pintu untuk kegiatan-kegiatan tersebut, yang telah terbukti telah menimbulkan apa yang dinamakan dengan pembengkakan biaya (karena ada biaya siluman).


III. Konsep Distribusi Kekayaan (Tauzi’ al-Tsarwah)
Islam telah menetapkan sistem distribusi kekayaan diantara manusia dengan cara sebagai berikut:

III.I. Mekanisme Pasar
Mekanisme pasar adalah bagian terpenting dari konsep distribusi. Akan tetapi mekanisme ini akan berjalan dengan alami dan otomatis, jika konsep kepemilikan dan konsep pemanfaatan harta berjalan sesuai dengan hokum Islam. Sebab, dalam kehidupan ekonomi modern seperti saat ini, di mana produksi tidak menjadi jaminan konsumsi, melainkan hanya menjadi jaminan pertukaran saja, maka pengeluaran seseorang merupakan penghasilan bagi orang lain. Demikian pula sebaliknya.

III.II. Bentuk Transfer Dan Subsidi
Untuk menjamin keseimbangan ekonomi bagi pihak yang tidak mampu bergabung dalam mekanisme pasar -karena alasan-alasan tertentu, seperti; cacat, idiot dan sebagainya-maka Islam menjamin kebutuhan mereka dengan berbagai cara sebagai berikut:

1. Wajibnya muzakki membayar zakat yang diberikan kepada mustahik, khususnya kalangan fakir miskin.

2. Setiap warga negara berhak memanfaatkan pemilikan umum. Negara boleh mengolah dan mendistribusikannya secara cuma-cuma atau dengan harga murah.

3. Pembagian harta negara seperti tanah, barang dan uang sebagai modal kepada yang memerlukan.

4. Pemberian harta waris kepada ahli waris.

5. Larangan menimbun emas dan perak walaupun dikeluarkan zakatnya.


IV. Bagaimana Pelaksanaanya?
Islam mendorong setiap manusia untuk bekerja dan meraih sebanyak-banyaknya materi. Islam membolehkan tiap manusia mengusahakan harta sebanyak ia mampu, mengembangkan dan memanfaatkannya sepanjang tidak melanggar ketentuan agama. Sektor swasta didorong untuk berkembang semaksimal mungkin.

Motif untuk menghasilkan produk bermutu tinggi dengan harga murah agar unggul dalam persaingan bebas, akan mendorong dan menumbuhkan kreatifitas manusia secara optimal. Atas dasar ini, pengembangan SDM yang unggul -beriman, berpengetahuan, berketrampilan tinggi, dengan kepribadian yang terguh- mutlak diperlukan.

Keunggulan sains dan teknologi di masa kejayaan Islam sedikit telah memberikan gambaran bagaimana kesungguhan umat Islam untuk "menguasai dunia untu menuju akhirat". Islam menghargai setiap muslim yang bekerja keras dan menganggapnya sebagai bagian dar ibadah. Nabi Muhammad sangat menghargai orang yang bekerja keras untuk mendapatkan nafkah. Suatu ketika, Rasulullah mencium tangan sahabat Saad bin Muadz yang amat kasar lantaran habis bekerja keras, seraya berkata, “affani yuhibbuhuma allahu ta’la” (Dua tangan yang dicintai Allah SWT).

Islam tidak melarang umatnya untuk memiliki sebanyak-banyaknya harta. Bahkan ada beberapa kewajiban Islam yang menuntut dan membutuhkan kemampuan keuangan yang cukup. Seperti haji, jihad fi sabilillah, serta kewajiban-kewajiban Islam lainnya.

Dalam sejarah, tidak sedikit para sahabat yang dikenal sebagai konglomerat, seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman bin Auf, sebelum wafatnya menghibahkan 50.000 dinar setara dengan 5 milyar rupiah untuk umat pada saat itu. Ini menunjukkan bahwa, motif-motif individu untuk meraih sebanyak-banyaknya barang dan jasa akan mendorong produktivitas individu-individu yang ada di dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya, jika motif-motif ini dikekang, bahkan dieliminir, maka akan menimbulkan turunnya produktivitas barang dan jasa. Bahkan akan melahirkan masyarakat malas yang enggan melakukan inovasi dan produksi secara maksimal.

Harta yang dimiliki seorang muslim tidak boleh dimanfaatkan dan dikembangkan dengan cara yang bertentangan dengan syari'at Islam. Islam telah melarang aktivitas perjudian, riba, penipuan, serta investasi di sektor-sektor maksiyat. Sebab, aktivitas-aktivitas semacam ini justru akan menghambat produktivitas manusia. Perjudian, valas, minuman keras, akan berdampak kemerosotan akhlaq dan etika masyarakat, serta menurunkan produktivitas pekerja dan buruh pabrik. Bahkan lebih keji lagi, aktivitas tersebut akan mengeliminir nilai-nilai kemanusiaan dan menghancurkan sendi-sendi masyarakat, suatu hal yang diupayakan dalam pembangunan manusia. Islam juga melarang kaum muslim melakukan aktivitas yang dapat melabilkan ketangguhan mekanisme pasar, semisal penimbunan barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh publik, serta dominasi atas sektor-sektor umum. Untuk mencegah tindakan-tindakan semacam ini, negara akan mengambil tindakan tegas bagi para pelanggarnya.

Tanah sebagai salah satu komponen ekonomi, harus difungsikan secar optimal. Tanah yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun tanah oleh pemiliknya, akan disita oleh negara dan diberikan kepada orang yang mau menggarapnya. Optaimalisasi fungsi tanah akan mendorong kegiatan ekonomi terutama sektor pertanian, sekaligus akan berpengaruh kepada sektor-sektor ekonomi lainnya. Disis lain, tidak ada seorangpun, termasuk negara, berhak meminta paksa atau membeli paksa tanah milik perseorangan, kecuali dengan kerelaan si pemilik. Mamaksa di luar keridhaan pemilik tanah adalah tindkan kedzhaliman, apalagi bila tanah itu adalah gantungan hidupnya.

Individu-individu tertentu, khususnya yang berhasil mendapatkan kekayaan, Islam telah mendorong individu-individu tersebut untuk berinfak kepada orang lain. Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa, tidak semua orang berkesempatan, berkemampuan dan mendapatakan keberuntungan yang sama. Oleh karena itu, setelah kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi ia wajib menolong orang-orang yang membutuhkan, termasuk dibebani kewjiban-kewajiban lain, semisal zakat. Sebab, pada setiap harta sesungguhnya terdapat hak orang lain. Bagi pihak yang mampu mengeluarkan zakat, wajib mengeluarkan zakat kepada pihak yang berhak (mustahiK). Di sisi lain, harta waris harus dibagikan kepada ahli warisnya. Dari sini, harta akan beredar secara otomatis. Bukan hanya diantara orang kaya dan mampu saja (melalui mekanisme ekonomis), tetapi juga diantara orang-orang miskin dan orang yang membutuhkan (melalui mekanisme non-ekonomis, tetapi berdampak ekonomis). Islam juga mengingatkan orang yang berkecukupan untuk tidak membelanjakan hartanya secara israf, tadzbir, dan taraf (berlebih-lebihan). Islam mengutuk berbangga-bangga dengan banyaknya harta, sikap angkuh dan sombong. Diingatkan, bila hendak menghancurkan suatu negeri, Allah SWT, membiarkan golongan mutrafin (hartawan) untuk berbuat sekehendak hatinya, termasuk ketika ia dengan kekuatannya berkolusi menciptakan praktek monopoli.

Pemerintah Islam bertugas mengatur kehidupan seluruh masyarakat dengan cara Islam. Dalam hal usaha, pemerintah mendorong berkembangnya sektor riil -perdagangan, pertanian, industri dan jasa. Pemerintah juga harus bertindak adil kepada rakyat. Pemerintah tidak boleh memberikan hak-hak istimewa (monopoli) dalam bentuk apapun (monopoli bahan baku, produksi, pasar) hanya kepada pihak tertentu yang kebetulan dekat dengan penguasa. Seluruh hak memiliki hak yang sama. Pemberian hak istimewa kepada seseorang berarti telah mendzalimi pihak yang lain. Pemerintah harus menjaga agar perdagangan bebas (free trade) berjalan fair. Para pengusaha diperbolehkan bersaing, akan tetapi dilarang saling menikam.

Pada sisi lain, negara tidak mentolerir sedikitpun berkembangnya sector non riil, seperti perdagangan uang, perbankan dengan riba, pasar modal dan sebagainya. Pada dasarnya, bila diteliti dengan mendalam sektor-sektor semacam ini telah menyebabkan hal-hal yang merugikan perekonomian secara umum. Sebagaimana telah disebutkan di dalam Islam, yakni “kayla yakuna duulatan bayna al-aghniai minkum” (agar harta tersebut tidak beredar di kalangan orang-orang kaya diantara kalian saja), yakni beredarnya uang hanya diantara orang kaya saja. Data saat ini menunjukkan bahwa, terdapat 10 triliun uang yang beredar di lantai bursa. Bila 80% di antaranya terinvestasikan dalam berbagai perusahaan lewat pasar perdana, berarti terdapat tidak kurang 2 triliun rupiah yang “melayang-layang”, yang berarti tidak menimbulkan efek secara langsung terhadap kegiatan ekonomi secara luas. Andai saja uang sejumlah itu diinvestasikan di sektor riil, berapa pabrik dapat didirikan, berapa tenaga kerja yang dapat diserap. Berkembangnya kegiatan-kegiatan ekonomi riil akan berdampak pada terserapnya tenaga kerja, sehingga pengangguran akan berkurang, kesejahteraan naik dan merata. Ijin negara untuk hanya mengembangkan sector riil (investasi) jelas berefek pada terbukanya lapangan pekerjaan dalam jumlah yang cukup berarti, yang itu berarti akan menghasilkan pertumbuhan sekaligus pemerataan.

Disisi lain, sistem kepegawaian harus mengikuti pula aturan Islam. Diantaranya adalah, adanya akad kepegawaian yang jelas -mencakup hak dan kewajiban pegawai- kemudian “membayar sesuai kerja yang dilakukan secara wajar”, “membayar upah sebelum kering”, dan semua berjalan “antaradhin” (dengan saling ridha tanpa kedzaliman satu sama lain).

Negara harus mendorong munculnya pusat-pusat pertumbuhan di berbagai wilayah agar kesenjangan antar kawasan tidak terjadi. Kebijakan ini pada gilirannya juga akan mendorong pemerataan kesejahteraan. Negara juga mendorong berkembangnya usaha kecil dan menengah, dan memberikan kesempatan yang sama dengan usaha besar baik dalam akses pendanaan, pasar, ketrampilan dan teknologi maupun dalam hal regulasi. Bila diperlukan, untuk melindungi hak-hak mereka, pemerintah mengeluarkan undang-undang perlindungan usaha kecil. Ini adalah wujud perlakuan adil negara pada semua pengusaha. Ini juga perwujudan upaya tawazun (penyeimbangan) yang dilakukan negara terlebih bila terdapat ketimpangan pendapatan dan kesempatan, sebagaimana langkah Rasulullah yang hanya membagikan harta fa'i Bani Nadlir kepada kaum Muhajirin yang umumnya miskin, tidak kepada kaum Anshar yang umumnya sudah kaya, agar (duulah) kesempatan dan harta tidak hanya beredar diantara orang kaya saja (Qs.59: 7-8).

Peningkatan kesejahteraan juga dicapai dengan cara memberikan kepada individu dalam memanfaatkan pemilikan umum (air, minyak, gas, listrik dan lainnya) secara gratis atau dengan harga murah. Kepemilikan umum semacam ini dikelola hanya oleh negara. Swastanisasi memang cenderung lebih efisien, tetapi ini bertentangan dengan prinsip pemilikan umum dan tugas negara sebagai pelayan rakyat. Selain itu swastanisasi sektor publik biaanya menjadikan harga produk lebih mahal. Ini harus dihindari karena jelas akan merugikan rakyat banyak.

Bila rakyat dapat memperoleh kebutuhan pokoknya dengan harga murah, biaya hidup dapat ditekan. Uang yang ada dapat digunakan untuk keperluan lain bagi kesejahteraan mereka. Apalagi bila negara dengan kemampuannya memberikan subsidi (apalagi cuma-cuma) untuk kesehatan, pendidikan dan sarana sosial lain, maka kebutuhan dasar penduduk akan dengan mudah tercukupi. Jaminan sosial (social security) semacam ini jelas akan meningkatkan kesejahteraan golongan miskin dan memberikan perlindungan pada masyarakat dalam kesulitan ekonomi. Optimalisasi sumberdaya yang tidak selalu menghasilkan optimalisasi distribusi dapat diatasi.

Secara teoritis, kegiatan ekonomi (perdagangan, pertanian dan industri) yang sehat akan mendistribusikan kekayaan secara normal. Tetapi dalam faktanya selalu saja dimungkinkan terjadinya anomali yang disebabkan baik karena faktor alamiah (kelemahan fisik, sumberdaya alam) maupun musibah, yang pada gilirannya menyebabkan distribusi normal yang diharapkan tidak berjalan sehingga terjadi ketimpangan. Untuk lapisan masyarakat yang memang benar-benar miskin atau tidak memiliki kemampuan, negara sesuai dengan prinsip tawazun tadi, berhak memberikan miliknya berupa tanah, atau barang dan uang untuk modal usaha. Disamping menjadi kewajiban para karib kerabat dan tetangganya untuk mendorong dengan memberikan zakat atau infaq. Dengan cara lain, mereka yang tidak terikutkan dalam mobilitas ekonomi “ditolong” secara sengaja. Harapnnya, setelah ini mereka dapat mengikuti derap kemajuan ekonomi masyarakat, bukan menjadi lapisan yang kian terpinggirkan.

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah penggunaan emas dan perak sebagai mata uang negara. Dengan mata uang ini, dimana nilai intrinsik sama dengan nilai nominal, menjadikan uang Islam tidak tergantung pada mata uang

manapun. Ia akan mengukur dengan dirinya. Dengan demikian, inflasi yang berakibat penurunan nilai mata uang, yang berarti pula meningkatnya laju proses pemiskinan -karena uang ditangan rakyat makin tidak bernilai alias harga barang makin tak terjangkau-tidak akan terjadi.

Jelaslah, negara dalam Islam berfungsi sangat sentral karena fungsinya sebagai ri'ayatu suuni al-ummah (pengatur kehidupan umat) agar tenang secara politis dan sejahtera secara ekonomi. Jadi tidak sekedar berfungsi minimal (minimalist state) seperti dalam sistem pasar bebas, atau mendominasi perekonomian seperti dalam sistem sosialis. Tidak juga terjerumus terlalu jauh mengatur sehingga memberikan monopoli, proteksi, hak istimewa kepada pengusaha 9tertentu), atau ekstrim yang lain pemerintah terlalu lemah sehingga tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi penyimpangan para pelaku ekonomi, khususnya dari pihak swasta kuat.

Untuk menjaga agar sistem ekonomi Islam sesuai dengan aturan Islam, peran dan fungsi negara -untuk mengontrol pelaksanaan sistem ekonomi Islam- menjadi sangat signifikan. Peran seperti ini hanya mungkin dilakukan bila pemerintah digerakkan oleh para birokrat yang memiliki kepribadian mulia, bersih, yang bekerja benar-benar demi kepentingan kesejahteraan rakyat. Untuk menjaga mental birokrat agar tetap bertindak jujur dan objektif. Islam melarang keras praktek pemberian suap atau komisi pada pegawai pemerintah. Atas dasar ini pegawai negeri harus mendapat gaji yang layak. Selain kontrol dari negara, harus ada pula pengawasan dari masyarakat. Kontrol masyarakat dan individu agar negara serta masyarkat berjalan sesuai dengan koridor hukum Islam merupakan kewajiban penting bagi kaum muslimin.

*Disampaikan pada acara Diskusi Publik, yang diselenggara oleh Hizbut Tahrir Australia, di Masjid al-Hijrah, Sydney, Australia.

nasihat kepada gadis remaja

Dengan terbata-bata dan diiringi linangan air mata penyesalan seorang remaja putri bertutur,
"Peristiwa ini bermula hanya dari pembicaraan melalui telepon antara diriku dengan seorang pria, lalu berlanjut membuahkan kisah cinta di antara kami.
Ia merayu bahwa dirinya sangat mencintaiku dan ingin segera meminangku. Dia berharap dapat bertemu muka denganku, namun aku sungguh merasa keberatan, bahkan aku mengancam ingin menjauhi dirinya, kemudian menyudahi hubungan ini. Akan tetapi aku tak kuasa melakukan itu. Maka aku putuskan dengan mengirimkan fotoku dalam sebuah surat cinta yang semerbak dengan wangi aroma bunga mawar.

Gayung bersambut suratku pun dibalas olehnya, dan semenjak itu kami sering saling kirim surat. Suatu ketika melalui surat, ia mengajakku untuk keluar pergi berduaan, aku menolak dengan keras ajakan itu. Tetapi ia balik mengancam akan membeberkan semua tentang diriku, foto-fotoku, surat cintaku, dan obrolanku dengannya selama ini melalui telepon, yang ternyata ia selalu merekamnya. Aku benar-benar dibuat tak berdaya oleh ancamannya.

Akhirnya aku pun pergi keluar bersamanya dan berharap dapat pulang kembali ke rumah dengan secepatnya. Memang aku pun akhirnya pulang, namun sudah bukan sebagai diriku yang dulu lagi, aku telah berubah. Aku kembali ke rumah dengan membawa aib yang berkepanjangan, dan suatu ketika kutanyakan kepadanya, "Kapan kita akan menikah?" Apakah tidak secepatnya? Namun ternyata jawaban yang ia berikan sungguh menyakitkan, dengan nada menghina dan merendahkanku ia berkata, "Aku tak mau menikah dengan wanita rendahan sepertimu!"

Wahai saudariku tercinta!

kini engkau tahu bagaimana akhir dari hubungan kami yang jelas-jelas terlarang dalam agama ini.
Oleh karena itu waspada dan berhati-hatilah jangan sampai engkau terjerumus dalam hubungan semacam itu. Jauhilah teman yang buruk perangai, yang suatu saat bisa saja ia menjerumuskanmu lalu menyeretmu ke dalam pergaulan yang rendah dan terlarang. Ia hiasi itu semua sehingga seakan-akan menarik dan merupakan hal biasa yang tidak akan berakibat apa-apa, tak akan ada aib dan lain sebagainya.

Jangan percaya omongannya, sekali lagi jangan gampang percaya! Itu semua tak lain adalah tipu daya yang dilancarkan oleh syetan dan teman-temannya. Dan jika engkau tak mau berhati-hati maka sungguh hubungan haram itu akan berakibat sebagaimana yang telah kusebutkan di atas atau bahkan lebih parah dan menyakitkan lagi.

Berhati-hatilah jangan sampai engkau terpedaya dengan bujuk rayu para laki-laki pendosa itu yang kesukaannya hanya mempermainkan kehormatan orang lain. Mereka adalah pembohong, pendusta dan pengkhianat, walau salah satu dari mulut mereka terkadang menyampaikan kejujuran dan keikhlasan. Apa yang diinginkan mereka adalah sama, dan semua orang yang berakal mengetahui itu, seakan tiada yang tersembunyi. Berapa kali kita mendengarkan, demikian juga selain kita tentang perilaku keji mereka terhadap para gadis remaja.

Namun sayang seribu sayang bahwa sebagian para gadis tak bisa mengambil pelajaran dari peristiwa memalukan yang menimpa gadis lainnya. Mereka tak mempercayai segala ucapan dan nasehat yang diberikan kecuali setelah peristiwa itu benar-benar menimpa, dan setelah terlanjur menjadi korban kebiadaban lelaki amoral itu. Tatkala musibah dan aib yang mencoreng muka telah terjadi, maka ketika itulah ia baru terbangun dari keterlenaannya, timbullah penyesalan yang mendalam atas segala yang telah dilakukannya. Ia berangan-angan agar aib, derita, dan kegetiran itu segera berakhir, namun musim telah berlalu dan segalanya telah terjadi,yang hilang tiada mungkin kembali! "Mengapa semua jadi begini?"

Saudariku Tercinta!

Bagi yang terlanjur jatuh dalam hubungan yang haram dan terlarang, jika mau berpikir maka tentu ia akan menjauhi cara seperti itu sejak awal mulanya. Sehingga tak seorang pun bisa mengajaknya demikian berpetualang dalam cinta. Sebab dalam petualangan tersebut mempertaruhkan sesuatu yang paling mulia yang merupakan lambang harga diri dan kesucian wanita. Jika sekali telah hilang, maka tak akan mungkin kembali selamanya. Wanita mana yang menginginkan agar miliknya yang paling berharga hilang begitu saja dengan sia-sia demi kesenangan sekejap? Lalu setelah itu kembali ke tengah-tengah keluarga dan masyarakat dalam keadaan terhina dan tersisih tiada mampu mendongakkan kepala?

Tiada lagi laki-laki yang mengingin kannya, hidup terkucil dan penuh kerugian yang selalu mengiringi sisa umurnya. Hatinya makin teriris manakala melihat teman sebayanya atau yang lebih muda telah menjadi seorang istri, seorang ibu rumah tangga dan pendidik generasi muda.

Oleh karena itu wahai saudariku, pikirkanlah semua ini! Jauhilah olehmu hubungan muda-mudi yang melanggar aturan agama agar engkau tidak menjadi korban selanjutnya. Ambillah pelajaran dari peristiwa yang menimpa gadis selainmu, dan jangan sampai engkau menjadi pelajaran yang diambil oleh mereka. Ketahuilah bahwa wanita yang terjaga kehormatannya itu sangatlah mahal, jika ia mengkhianati dan tak menjaga kehormatan itu, maka kehinaanlah yang pantas baginya. Tetaplah engkau pada kondisi jiwamu yang suci dan mulia dan janganlah sekali-kali engkau membuatnya hina serta menurunkan martabat dan ketinggian nilainya.

Jangan kau kira bahwa untuk mendapatkan seorang suami yang baik hanya dapat diperoleh melalui obrolan lewat telepon ataupun pacaran dan pergaulan bebas. Banyak di antara mereka yang jika dimintai pertanggung jawaban agar segera menikah justru mengatakan:

Bagaimana mungkin aku menikahi wanita sepertinya.
Bagaimana pula aku rela dengan tingkah laku dan caranya.
Bagi wanita yang telah mengkhianati kehormatannya sehari saja.
Maka tiada mungkin bagi diriku untuk memperistrinya.

Bila engkau tak menginginkan jawaban yang menyakitkan seperti ini maka jangan sekali-kali menjalin hubungan terlarang, cegahlah sedini mungkin. Selagi dirimu dapat mengen-dalikan segala urusan yang menyangkut pribadimu, maka kemuliaan dan harga diri akan terjaga. Carilah suami dengan cara yang baik dan benar, sebab kalau toh engkau mendapatkannya dengan cara gaul bebas dan cara-cara lain yang tidak benar, maka biasanya akan berakibat tersia-sianya rumah tangga dan bahkan perceraian. Rata-rata kehidupan mereka dipenuhi oleh duri, saling curiga, menuduh, dan penuh ketidakpercayaan.

Jangan kau percayai propaganda sesat yang berkedok kemajuan zaman atau mereka yang menggembar-gemborkan kebebasan kaum wanita yang mengharuskan menjalin cinta terlebih dahulu sebelum menikah. Janganlah terkecoh, sebab cinta sejati tak akan ada kecuali setelah menikah. Sedang selain itu, maka pada umumnya adalah cinta semu, hanya mengikuti angan-angan dan fatamorgana, sekedar menuruti kesenangan, hawa nafsu, dan pelampiasan emosi belaka.

Ingatlah bahwa kehidupan dunia ini sangatlah singkat dan sementara, mungkin sebentar lagi engkau akan meninggalkannya. Maka jika ternyata engkau telah terkhilaf dengan dosa-dosa segera saja bertaubat memohon ampunan sebelum ada dinding penghalang antara taubat dengan dirimu. Demi Allah nasihat ini kusampaikan dengan tulus untukmu dan itu semua semata-mata karena rasa sayang dan cintaku kepadamu.

Sumber: Buletin Darul Wathan “nihayatu fatah”



Kamis, 29 Oktober 2009

Riba Dalam Pandangan Islam

Oleh: M.Harun al-Rasyid Ramadhana

hayatulislam.net – Kata ar-ribâ secara etimologis (bahasa) mempunyai konotasi az-ziyâdah (pertambahan); rabâ as-syay’ artinya zâda ‘ammâ kâna ‘alayhi, bertambah dari kuantitas sebelumnya.[i] Perlu dicatat, bahwa konotasi kata Arab tidak akan terlepas dari tiga bentuk: Pertama, konotasi etimologis (al-ma’nâ al-lughawi); makna yang digunakan oleh orang Arab agar kata bisa menunjukkan makna tersebut.
Dari sini, kata ribâ antara lain bisa berkonotasi “pertambahan” atau “peningkatan”. Jika ada orang dikatakan, “Ribâ ar-rajulu fî qawmihi,” konotasinya adalah, “Irtafa’a qadruhu,” (Kemampuannya meningkat). Kedua, konotasi tradisional/konvensional (al-ma’nâ al-urfi); makna kata tertentu yang biasa digunakan oleh orang Arab untuk memperkenalkan sesuatu, bukan makna yang digunakan secara etimologis. Artinya, ketika kata tersebut digunakan, maknanya telah berubah dari konteks bahasa (lughawi) ke konteks tradisi/konvensi (‘urfi). Misalnya, dalam tradisi/konvensi para ulama ushul fiqh, kata ‘illat yang secara bahasa bermakna penyakit dimaknai sebagai sabab at-tasyrî’ (latar belakang turunya hukum); atau kata al-hâim yang secara bahasa berarti hakim, komandan, pimpinan dimaknai sebagai Pembuat Hukum, yakni Allah.

Dalam konteks pula, ribâ, secara tradisional/konvensional adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan pertambahan yang ditetapkan sebagai kompensasi penangguhan utang, seperti ungkapan: A taqdhi am turbil?
(Apakah Anda mau dibayar cash atau ditagguhkan dengan kompensasi tambahan).[ii] Ketiga, konotasi syar’î (al-ma’nâ as-syar’î); makna yang dikehendaki oleh syariat melalui penggunaan kata tertentu, bukan makna asal yang digunakan secara etimologis. Misalnya, kata as-shawm (puasa) secara syar’î digunakan untuk menyebut ibadah tertentu yang terikat dengan waktu, tempo dan aturan tertentu. Hal yang sama juga terjadi pada kata ar-ribâ yang digunakan oleh syariat untuk menunjukkan pertambahan dalam muamalah tertentu, bukan yang lain; ar-ribâ berbeda pula dengan al-bay’ (jual-beli).

Dengan demikian, setelah ribâ dideskripsikan oleh syariat tidak lagi berkonotasi pertambahan secara mutlak, tetapi konotasinya menjadi: pertambahan akibat pertukaran jenis tertentu, baik yang disebabkan oleh kelebihan dalam pertukaran dua harta yang sejenis di tempat pertukaran (majlis at-tabâdul), seperti yang terjadi dalam ribâ al-fadhl, ataupun disebabkan oleh kelebihan tenggang waktu (al-ajal), sebagaimana yang terjadi dalam ribâ an-nasî’ah aw at-ta’khîr.[iii] Inilah definisi ribâ secara syar’î.

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan ribâ, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa ribâ adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmanNya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil. (Qs. An- Nisâ’ [4]: 29).

Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan:

“Pengertian ribâ secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud ribâ dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil.
Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali ke-sempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.

Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.
Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi. Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya:

1. Badr Ad-Din Al-Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari: “Prinsip utama dalam ribâ adalah penambahan.
Menurut syariah ribâ berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riel.”

2. Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi: “Ribâ adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”

3. Raghib Al Asfahani: “Ribâ adalah penambahan atas harta pokok.”

4. Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i: Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk ribâ yang dilarang al-Qur’an dan As Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.

5. Qatadah: “Ribâ jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”

6. Zaid bin Aslam: “Yang dimaksud dengan ribâ jahiliyyah yang berimplikasi pelipat-gandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata: ‘bayar sekarang atau tambah.’”

7. Mujahid: “Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar) si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.”

8. Ja’far Ash-Shadiq dari kalangan Syiah: Ja’far Ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan ribâ – “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”

9. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali: “Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang ribâ beliau menjawab: Sesungguhnya ribâ itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.”

10. Asy-Syaikh Abdurrahman Taj mengatakan bahwa, ribâ adalah setiap tambahan yang berlangsung pada salah satu pihak (dalam) aqad Mu’wwadhah tanpa mendapat imbalan; atau tambahan itu diperoleh karena penangguhan.[iv]

Secara garis besar ribâ dikelompokkan menjadi dua.
Masing-masing adalah ribâ hutang-piutang dan ribâ jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi ribâ qardh dan ribâ yâdd. Sedangkan kelompok kedua, ribâ jual-beli, terbagi menjadi ribâ fadhl dan ribâ nasi’ah.[v]

1. Ribâ Qardh adalah praktek ribâ dengan cara meminjamkan uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan/keuntungan bagi pihak pemberi utang.

2. Ribâ Yâdd adalah praktek ribâ yang dilakukan oleh pihak yang peminjam yang meminjamkan uang/barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima barang (aqad timbang terima). Munculnya ribâ dalam keadaan ini adalah karena dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan.

3. Ribâ Fadhl adalah praktek ribâ dalam bentuk menukarkan barang yang sejenis tetapi tidak sama keadaanya atau menukar barang yang sejenis tetapi saling berbeda nilainya.

4. Ribâ Nasi’ah adalah praktek ribâ memberikan hutangan kepada orang lain dengan tempo yang jika terlambat mengembalikan akan dinaikkan jumlah/nilainya sebagai tambahan atau sanksi.

Mengenai pembagian dan jenis-jenis ribâ, berkata Imam Ibnu Hajar al-Haitsami: “Bahwa ribâ itu terdiri dari tiga jenis, yaitu ribâ fadhl, ribâ al-yâdd, dan ribâ an-nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu ribâ al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al-Qur’an dan hadits Nabi.”

Para ahli fiqh Islam telah membahas masalah ribâ dan jenis barang ribâwi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribâwi meliputi:

1.
Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.

2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam kaitan dengan perbankan syariah implikasi ketentuan tukar-menukar antarbarang-barang ribâwi dapat diuraikan sebagai berikut:

1.
Jual-beli antara barang-barang ribâwi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual-beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar.

2. Jual beli antara barang-barang ribâwi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual-beli. Misalnya Rp 5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.

3. Jual-beli barang ribâwi dengan yang bukan ribâwi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.

Jual beli antara barang-barang yang bukan ribâwi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.

Larangan Ribâ Dalam al-Qur’an Dan as-Sunnah


Ummat Islam dilarang mengambil ribâ apa pun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam tidak melibatkan diri dengan ribâ bersumber dari berbagai surat dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keharamannya, sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’ (konsensus) kaum muslimin, termasuk madzhab yang empat.[vi]

1. Larangan Ribâ Dalam al-Qur’an

Larangan ribâ yang terdapat dalam al-Qur’an tidak ditu-runkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.

Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman ribâ yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT. Ayat ini diturunkan di Mekkah, tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai pengharaman ribâ. Yang ada hanyalah kebencian Allah terhadap ribâ, sekaligus peringatan supaya berhenti dari aktivitas ribâ.

Dan sesuatu ribâ (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka ribâ itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (Qs. Ar-Rûm [30]: 39).

Tahap kedua, ribâ digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan ribâ.

Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan ribâ, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (Qs. An-Nisâ’ [4]: 160-161).

Tahap ketiga, ribâ diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan ribâ dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Qs. Ali-Imran [3]: 130).

Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya ribâ (jikalau bunga berlipat ganda maka ribâ tetapi jikalau kecil bukan ribâ), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.

Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat al-Baqarah [2] yang turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (Keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan Pembenaran Pengambilan Ribâ”, point “Berlipat-Ganda”).

Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut ribâ.

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) ribâ jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa ribâ) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan ribâ), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. (Qs. Al-Baqarah [2]: 278-279).

Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabariy meriwayatkan bahwa “Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang berdasarkan ribâ agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan uang secara ribâ kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan ribâ. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (ribâ) dari Bani Mughirah -seperti sediakala- tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (ribâ) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah SAW dan turunlah ayat di atas. Rasulullah SAW lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab ‘jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.’”

Dengan turunnya ayat ini, maka ribâ telah diharamkan secara menyeluruh. Tidak lagi membedakan banyak maupun sedikit. Ayat ini dan tiga ayat ribâ berikutnya sekaligus merupakan ayat tentang hukum yang terakhir. Bagi kaum muslimin saat ini, maka hukum yang berlaku adalah hukum pada ayat yang terakhir, yang telah menasakhkan hukum ribâ pada ayat-ayat sebelumnya. Juga, ayat diatas tadi menjelaskan bahwasannya ribâ telah diharamkan dalam segala bentuknya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai keharamannya. Sebab, hal ini telah ditetapkan berdasarkan Kitab Allah, Sunnah Rasul dan Ijma’ sahabat, termasuk madzhab yang empat.


2. Larangan Ribâ Dalam Hadits

Pelarangan ribâ dalam Islam tak hanya merujuk pada al-Qur’an melainkan juga al-Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui al-Qu’ran, pelarangan ribâ dalam hadits lebih terinci.

Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah SAW masih menekankan sikap Islam yang melarang ribâ.

“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil ribâ, oleh karena itu hutang akibat ribâ harus di-hapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”

Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah ribâ. Di antaranya adalah:

Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala), ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab, bahwa Rasulullah SAW melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan, beliau juga melaknat pekerjaan pentato dan yang minta ditato, me-nerima dan memberi ribâ serta beliau melaknat para pembuat gambar.” [HR. Bukhari, no. 2084 kitab Al-Buyu].

Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, “Saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukar-kannya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah SAW”, selepas itu Rasulullah SAW terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya ribâ, ini sesungguhnya ribâ. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” [HR. Bukhari, no. 2145, kitab Al-Wakalah].

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah SAW melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” [HR. Bukhari, no. 2034, kitab Al Buyu].

Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga ribâ. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” [HR. Muslim no. 2971, dalam kitab Al Masaqqah].

Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah Suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu?’ Aku diberitahu, bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan ribâ.’” [HR. Bukhari, no. 6525, kitab At-Ta`bir].

Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima ribâ, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” [HR. Muslim no. 2995, kitab Al Masaqqah].

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan ribâ.”

Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi SAW bersabda: “Ribâ itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dariNya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan ribâ, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya.

Dalam Hadits lain Rosulullah mengisyaratkan akan muncul sekelompok manusia yang menghalalkan ribâ dengan dalih “Bisnis”. Rosulullah bersabda: “Akan datang suatu saat nanti kepada umat ini tatkala orang-orang menghalalkan ribâ dengan dalih bisnis” [HR. Ibnu Bathah dari Al-Auza’i]


Alasan Pembenaran Pengambilan Ribâ



Sekalipun ayat-ayat dan hadits ribâ sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Di antara-nya karena alasan:

1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.

2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan.

3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits ribâ.

4. Hanya ribâ yang konsumtif yang dilarang, tapi yang produktif tidak apa-apa


1. Darurat

Untuk lebih memahami pengertian, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat ini seperti yang dinyatakan oleh syara’ (Allah dan rasulNya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.

Imam As-Suyuthi dalam bukunya Al-Asybah wa an-Nadhâir menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”

Dalam literatur klasik keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, maka dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan:

“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, seraya dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 173).

Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al-qawaid al-fiqhiyah seputar kadar darurat. Sesesuai dengan ayat di atas para ulama merumuskan kaidah: “Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya.” Artinya darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam maka dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap maka tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap. Apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.


2. Berlipat Ganda

Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan ribâ bila sudah berlipat-ganda dan memberatkan. Sementara bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas Surat Ali-Imran [3] ayat 130.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan ribâ dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”

Sepintas, surat Ali-Imran [3]: 130 ini memang hanya melarang ribâ yang berlipat-ganda. Namun pemahaman kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat ribâ lainnya. Secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan ribâ secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa ribâ dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.

Kriteria berlipat-ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari ribâ, dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat artinya kalau terjadi pelipat-gandaan, maka ribâ, jikalau kecil tidak ribâ.

Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris, tahun 1978, me-negaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan secara linguistik arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan demikian bararti 3x2=6 kali. Sementara dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.

Dengan demikian menurut beliau, kalau berlipat-ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam.

Menanggapi pembahasan Qs. Ali-Imran [3] ayat 130 ini Syaikh Umar bin Abdul Aziz Al-Matruk, menegaskan:

“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 Surat Ali Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda dan pengguna-annya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa ribâ harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik ribâ secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat-ganda) menjadi sifat umum dari ribâ dalam terminologi syara (Allah dan rasulNya).”

Dr. Sami Hasan Hamoud menjelaskan bahwa, bangsa Arab di samping melakukan pinjam-meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint labun). Kalau meminjamkan bint labun meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun).

Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan tergantung kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.

Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah dalam konteks Ali-Imran [3]: 130 sangatlah menyimpang baik dari siyaqul kalam, konteks antar-ayat, kronologis penurunan wahyu, dan sabda-sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktek ribâ pada masa itu.

Secara sederhana, jika kita menggunakan logika mafhum mukhalafah yang berarti konsekuensi secara terbalik - jikalau berlipat ganda dilarang, maka kecil boleh; jikalau tidak sendirian, maka bergerombol; jikalau tidak di dalam maka di luar… dan seterusnya, kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah SWT. Sebagai contoh jika ayat larangan berzina kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah:

“Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

“Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.”

Janganlah mendekati zina! Yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi.

Janganlah memakan daging babi! Yang dilarang me-makan dagingnya, sementara tulang, lemak, dan kulitnya tidak disebutkan secara eksplisit. Apakah berarti tulang, lemak, dan kulit babi halal?

Pemahaman pesan-pesan Allah seperti ini jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan di atas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologis penurunan wahyu, konteks antarayat, sabda-sabda Rasulullah seputar subjek pembahasan, demikian juga disiplin ilmu bayan, badie, dan maa’nie.

Di atas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 Surat Ali-Imran [3] diturunkan pada tahun ke 3 H. Ayat ini harus dipahami bersama ayat 278-279 dari surat Al-Baqarah [2] yang turun pada tahun ke 9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupakan “ayat sapu jagat” untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan jenis ribâ.

3. Badan Hukum dan Hukum Taklif

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat ribâ turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum taklif karena pada saat Nabi hidup belum ada.

Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.

i. Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.

ii. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.

Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan da-pat melakukan mudharat jauh lebih besar dari per seorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallaf. Memang ia bukan insan mukallaf tetapi melakukan fi’il mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dengan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala kecamatan atau kabupaten sementara lembaga rente meliputi propinsi, negara, bahkan global.

4. Ribâ yang Produktif

Orang-orang ini beranggapan bahwa ribâ produktif yang diperbolehkan, boleh menurut mereka ini dasarnya adalah bahwa ribâ yang dilarang sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah adalah praktek ribâ untuk keperluan konsumtif.

Alasan seperti ini terlalu dibuat-buat, dan sama saja dengan cermin sifat-sifat orang munafik dan tingkah laku orang-orang yahudi yang senantiasa mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakan mereka. Lafadz ar-ribâ adalah bermakna umum. Huruf alif dan lam didepan kata “Arribâ” menunjukkan sifat lil jins atau lil istighraq yang melukiskan keumumannya.[vii] Berdasarkan pengertian ini, maka lafadz “ar-ribâ” berarti mencakup semua keadaan, baik itu yang konsumtif maupun yang produktif, keduanya termasuk ribâ yang diharamkan.

Untuk mengecualikan hukum-hukum dari lafadz yang umum diperlukan dalil-dalil yang lain yang mentakhsiskan (mengkhususkan) keumumannya. Dalam masalah ribâ, tidak ada satupun nash yang mentakhsiskan hukumnya dari ayat-ayat yang turun tentang ribâ. Dengan demikian hukum ribâ berlaku sesuai dengan keumuman lafadznya.

Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta meng-haramkan ribâ. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata


Dampak Negatif Ribâ



1. Dampak Ekonomi

Di antara dampak ekonomi ribâ adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.

Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara penghutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.


2. Sosial Kemasyarakatan

Ribâ merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil ribâ menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan ribâ, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang yang dikelola pasti untung.


Ancaman Terhadap Pelaku Ribâ



1. Ancaman Dari al-Qur’an

i. Orang-orang yang memakan harta ribâ itu tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syethan, lantaran (tekanan) penmyakit gila… (Qs. al-Baqarah [2]: 275).

Dalam ayat di atas Allah mencela orang yang memakan ribâ (al-ladzîna ya’kulûna ar-ribâ) seraya menyamakan mereka dengan orang yang berdiri gontal laksana berdirinya orang yang kerasukan setan; lupa diri dan ingatan, alias tidak waras (lâ yaqûmûna illâ kamâ yaqûmu al-ladzî yatakhabbatuhu as-syaythân min al-massi). Celaan ini sangat keras, bahkan sangat menyakitkan. Sebab, Allah SWT bukan hanya mencela, tetapi telah menyamakan orang yang dicela dengan orang yang kerasukan setan. Di sini Allah sengaja menggunakan uslûb tasybîh (gaya perumpamaan) untuk menguatkan negatifnya image orang yang memakan (ya’kulûna) ribâ atau, menurut Imam As-Suyuthi, juga orang yang menghalalkan (yastahillûna)-nya.[viii]

Abdullah bin Abbas menerangkan mengenai ayat ini bahwasannya pelaku ribâ dan pemakan kelak di Hari Kiamat akan dikatakan: “Angkatlah senjatamu untuk berperang”[ix]

Asy-Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni lebih lanjut menerangkan dalam tafsirnya: “Dipersamakannya pemakan ribâ dengan orang-orang yang kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus sekali, yaitu Allah memasukkan ribâ ke dalam perut mereka lalu barang itu memberatkan mereka, yang menyebabkan ia sempoyoingan dan jatuh bangun. Hal ini menjadi ciri-ciri mereka di Hari Kiamat sehingga semua orang mengenalnya.”[x]

Sekalipun Allah tidak menyebutkan wajh as-syabah (wujud persamaan)-nya, setiap orang yang mau membandingkan keduanya akan bisa menemukan jawabannya, bahwa keduanya sama-sama lupa diri (tidak waras). Sebagian ahli tafsir, seperti Imam Asy-Syaukani, menafsirkan lâ yaqûmûna (tidak bangkit) adalah tidak bangkit pada Hari Kiamat. Artinya, pada Hari Kiamat kelak, orang yang memakan ribâ akan dibangkitkan menjadi gila sebagai siksaan bagi mereka.[xi]

Selanjutnya, Allah memberi alasan, mengapa mereka dikatakan “tidak waras” atau “berdiri gontai”? Jawabannya, karena mereka menganggap, bahwa jual-beli itu sama dengan ribâ (dzâlika bi annahum qâlû innamâ al-bay’u mitslu ar-ribâ). Bagaimana tidak, jual-beli yang jelas-jelas berbeda dengan ribâ dikatakan sama; hukum jual-beli adalah halal, sedangkan ribâ jelas haram (wa ahalla Allâhu al-bay’a wa harrama ar-ribâ). Di sini Allah menyebut ar-ribâ setelah al-bay’u, karena ribâ merupakan derivat jual-beli yang ditambah dengan kompensasi tertentu, baik akibat pertambahan waktu (nasî’ah) maupun kelebihan pertukaran barang (fadhl); sekalipun kemudian masing-masing mempunyai hukum berbeda, karena manâth al-hukm (fakta hukum)-nya jelas berbeda. Karena itu, kecaman di atas bukan hanya ditujukan untuk orang yang memakan ribâ nasî’ah, tetapi juga untuk ribâ fadhl.[xii]

Orang yang telah memakannya sebelum diturunkannya hukum ribâ, kemudian setelah hukum tersebut turun, dia menghentikan praktek ribâ (faman jâ’ahu maw’idhatu min rabbihi fantahâ), masih mempunyai hak atas harta yang diperolehnya di masa lalu (falahu mâ salafa), dan urusannya diserahkan kepada Allah (wa amruhu ila Allâhi). Akan tetapi, jika setelah diturunkannya hukum tersebut mereka masih mengulangi praktek yang sama, maka mereka adalah para penghuni neraka yang akan kekal didalamnya (wa man ‘âda fa’ulâ’ika ashhâbu an-nâr, hum fîhâ khâlidûn). Pernyataan Allah ini merupakan qarînah (indikator) yang tegas, yang membuktikan keharaman hukum ribâ.

ii. Kemudian jika kamu tidak mau mengerjakan (meninggalkan ribâ), maka ketahuilah bahwa Allâh dan RasulNya akan memerangimu. (Qs. al-Baqarah [2]: 279).

iii. Allâh memusnahkan ribâ dan meyuburkan sedekah. Dan Allâh tidak menyukai orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. (Qs. al-Baqarah [2]: 276).

Dalam ayat di atas, Allah menegaskan, bahwa Dia memusnahkan ribâ dan menyuburkan sedekah (yamhaqu Allâh ar-ribâ wa yurbî as-shadaqât). Allah menyatakan demikian untuk membalik persepsi, bahwa sekalipun secara matematis ribâ menguntungkan, di sisi Allah dinihilkan. Sebaliknya, sedekah yang secara matematis merugikan, karena harta yang disedekahkan berkurang, di sisi Allah dilipatgandakan. Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan: Wallâhu la yuhibbu kulla kaffârin atsîm (Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa).

2. Ancaman Dalam Hadits Dan Pendapat Para Shahabat

Tidak ada seorang Muslimpun yang tidak mengetahui bahwa melakukan ribâ adalah sesuatu yang terlarang dan harus dihindari. Bahkan ribâ termasuk salah satu dosa besar. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:

“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan…(salah satunya adalah) memakan ribâ…” [HR. Bukhari dan Muslim].

Oleh karena itu, orang yang melakukan ribâ akan mendapatkan laknat dari Allah SWT, sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bahwasanya Rasulullah SAW telah melaknat orang yang memakan ribâ, yang memberi makan, penulisnya dan dua orang saksinya. Beliau bersabda:

“Mereka itu (yang memakan ribâ, yang memberi makan dari hasil ribâ, yang menulis dan saksinya) sama saja (hukumannya).” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hudzaifah].

Didalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa perbuatan ribâ lebih menjijikkan dari pada perbuatan zina. Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi SAW bersabda:

“Ribâ itu mempunyai 73 pintu; sedangkan yang paling ringan adalah seperti seseorang yang bersetubuh dengan ibunya…” [HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim, no. 2275, dari Ibnu Mas’ud dengan sanad shaih].

“Satu dirham yang diperoleh seseorang dari hasil ribâ lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina dalam Islam.” [HR. Baihaqi dari Anas bin Malik].

“Apabila muncul perzinaan dan (berbagai jenis dan bentuk) riba dalam suatu negeri (kampung), maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tidak peduli) sama sekali terhadap azab Allah (yang akan menimpa mereka).” [HR. Thabrani dan al Hakim].

Dalam menanggapi Qs. al-Baqarah [2]: 275, Abdullah bin Abbas ra. Berkata: “Siapa saja yang masih tetap mengambil ribâ dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Khalifah) untuk menasehati orang-orang tersebut. Jika mereka masih tetap keras kepala, maka seorang Imam dibolehkan untuk memenggal lehernya.”[xiii]

Menurut Muhammad Ali As-Sais, jika seseorang melakukan perbuatan ribâ tetapi tidak taubat, maka seorang Imam harus menjatuhkan hukuman ta’zir terhadap orang tersebut.

Berdasarkan keterangan di atas apabila Daulah Khilafah Islamiyyah (Negara Khilafah) telah berdiri, maka praktek-praktek ribâ apapun bentuk dan namanya harus dihapuskan. Bagi orang yang masih melakukan ribâ akan menghadapi sanksi yang sangat keras di dunia, dan akhirat kelak akan mendapatkan dirinya dilempar dan kekal di neraka.

Abu Hurairah ra. Berkata bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:

“Tatkala malam aku dimi’rajkan, aku melihat suatu kaum yang perut mereka bagaikan rumah, tampak di dalamanya ular-ular berjalan keluar, lalu aku bertanya: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Jawab Jibril, ‘Mereka adalah para pemakan ribâ’.”

Barangkali ada baiknya jika kita meneladani bagaimana sikap para Shahabat dalam menghadapi persoalan ioni. Diriwayatkan bahwa Umar ra. Berkata: “Di antara ayat-ayat yang terakhir turunya adalah ayat tentang ribâ, dan Rasulullah meninggal dunia sebelum menerangkan perinciannya kepada kami, oleh karena itu tinggalkanlah ribâ dan setiap hal yang meragukan.”

“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (tatkala) tiada seorang pun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) ribâ. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (ribâ)-nya.” [HR. Ibnu Majah, no. 2278].


Khatimah


Bagi kaum Muslimin yang telah mengetahui persoalan ini hendaknya bertindak sami’na wa ‘atha’na (kami dengar dan kami mentaatinya). Sebab, hukum haramnya ribâ telah sampai kepada kita. Tidak ada hak bagi seorangpun untuk mencari-cari alasan guna menghindari haramnya hukum ribâ dan tidak ada dalil sedikitpun yang membolehkan persoalan ini dari keharamannya. Tidak ada seruan yang paling baik dalam masalah ini selain apa yang diserukan Allah dan RasulNya. Tidak ada ketaatan terhadap makhluq dalam hal persoalan-persoalan yang ia melanggar ketentuan Allah dan RasulNya.

Tidaklah terbayangkan betapa dahsyatnya balasan bagi para pelaku ribâ, pedihnya siksaan yang akan dialami dan sepanjang hidupnya mendapatkan laknat Allah dan RasulNya? Atau, tidakkah kalian perhatikan bagaimana ancaman hukuman yang terdapat pada ayat ribâ yang merupakan peringatan Allah SWT kepada kita:

Dan peliharalah dirimu (dari adzab) pada suata hari, dimana kamu sekalian akan dikembalikan kepada Allah di hari itu, kemudian masing-masing jiwa akan dibalas dengan sempurna apa yang telah dikerjakannya itu dan mereka tidak akan dianiaya. (Qs. al-Baqarah [2]: 281).

Ya Allah, saksikanlah, kami telah menyampaikan!

--------------------------------------------------------------------------------

[i] Lihat Imam Ath-Thabariy, Tafsir Ath-Thabariy, juz I, hal. 388; Imam Al-Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, juz I, hal. 348; Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz I, hal. 294; Asy-Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkhâm, juz I, hal. 421; Asy-Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Tafsir Ayat Al-Akhâm, hal. 162.

[ii] Lihat Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz I, hal. 294.

[iii] Lihat Asy-Syaikh Muhammad Ahmad ad-Da’ur, Radd ‘alâ Muftarayât Hawla Hukm ar-Ribâ wa Fawâ’id al-Bunûk, hal. 35 – 36.

[iv] Lihat Asy-Syaikh Abdurrahman Taj, dalam majalah Alliwâ Al-Islam Edisi II/1952.

[v] Lihat Drs Shadiq SE dan H. Shallahuddin Chaeri, Kamus Istillah Agama, hal. 591.

[vi]Asy-Syaikh Abdurrahman al- Jazairi, al-Fiqh ‘ala Madzhaabil Arba’ah, jilid III, hlm. 202 dan 204

[vii] Lihat Imam Al-Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, juz I, hal. 358.

[viii] Lihat Imam As-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsûr, juz II, hal. 105.

[ix] Lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 326.

[x] Lihat Asy-Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkhâm, juz I, hal. 425.

[xi] Lihat Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz I, hal. 295.

[xii] Lihat Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz I, hal. 294.

[xiii] Lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 330 – 331.